barusan saya membaca sebuah artikel dan sedikit tercengang dengan judulnya, yang mana judulnya menurut saya begitu syarat makna, yang mana sebenarnya isi dari artikel ini lebh di tujukan kemana dan bagaimana pilihan yang akan di ambil oleh para kaum hawa, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk di baca juga para lelaki-lelaki hehehe
menurut saya artikel ini cukup menarik untuk dibaca karena dua-duanya berdasarkan kisah nyata, yah semoga kta bisa mengambil hikmahnya
selamat membaca :)
Kepemimpinan ‘Partnership’ Suami (Zaim Uchrowi)
Selama
juli kemarin, saya dan anak-anak empat kali ditinggal istri. Mula-mula
ia pergi ke Singapura. dua hari disana. Senin berikutnya, ia terbang ke
Kamboja dan baru pulang Jum’at malam. Seninnya lagi, ia berangkat ke
Srilangka.lagi- lagi pulang jumat. Dua hari kemudian ahad, ia terbang
ke San Fransisco, hingga ahad berikutnya.
Situasi itu tak lazim bagi kebanyakan keluarga kita. Bagi keluarga
saya yang demikian itu sudah semakin menjadi biasa. Ira istri saya,
belakangan ini semakin sering pergi. Dalam sebulan, rata-rata ia tiga
kali keluar negeri. terutama sejak ia ditunjuk sebagai manajer Divisi
Vendor Compliance untuk wilaya Asia Tenggara.
Tahun lalu Ira hanya menangani 80 pabrik di Indonesia. mulai dari
Medan, Batam-Bintan hingga Pasuruan. Dengan pekerjaaanya itu, Ira harus
memastikan bahwa 80.000 buruh yang bekerja untuk pabrik-pabrik suplier
perusahaanya- sebuah industri garmen Amerika dan kini terbesar
sedunia-mendapat perlakuan secara memadai. Setidaknya agar mereka tidak
diperas pabrik, mendapat haknya secara wajar, mendapat lingkungan kerja
yang memadai untuk ukuran industri, serta keselamatan kerjanya pun
terjamin.
Tahun ini jangkauan Ira diperluas. Kini ia harus bertanggung jawab
atas kondisi pekerja sekitar 350 pabrik di Asia Tenggara. Indonesia
tentu saja Singapura, Malaysia Kambojadan Brunei. Ia harus memonitor
secara detil iklim kerja diseluruh pabrik tersebut, sekaligus
mempelajari undang-undang tentang ketenagakerjaan setiap negara. Ia
harus berdebat dan ‘menaklukan’ para pengusaha yang nakal, sekaligus
meyakinkan kawannya dari divisi lain yang berkepentingan menjalin
bisnis dengan pengusaha tersebut. Hampir semua mereka beretnis Tionghoa
dari berbagai negara. Tak satupun Melayu.
Saya Insya Allah, tidak terganggu sama sekali dengan kesibukan Ira
yang sangat padat tersebut. Setidaknya sejak saya memutuskan untuk
memperistri Ira, 1987 lalu. Sedari kecil ia bukan sosok yang
“baik-baik” tinggal di rumah. Mungkin karena kehilangan figur ayahnya
yang meninggal , ia mencari lewat berbagai kegiatan. Drama di waktu SD,
pramuka dan kegiatan Masjid di waktu SMP, serta Osis (ia salah seorang
ketua) di SMU.
Saat menikah, ia baru kuliah tingkat satu. Saya harus hijrah
kembali ke Jakarta (dari Surabaya) sedangkan ia berada di Malang,
sambil harus membesarkan anak seorang diri. Ira dapat menyelesaikan
kuliahnya tepat waktu di Universitas Brawijaya bahkan menjadi salah
satu lulusan terbaik di fakultasnya.
Kemudian, tujuh tahun digerakan konsumen memberinya akses yang luas
pada jaringan Internasional. Para aktifis gerakana yang mempromosikan
ASI-dan menentang penggunaan susu formula bagi bayi-dunia terutama dari
kalangan IBFAN (International Baby Food Action Network) mengenalnya
dengan baik. Desember lalu ia bahkan diminta oleh IBFAN untuk mewakili
Asia-kemudian bahkan Dunia-untuk menerima penghargaan Right Liverhood
Award yang di Swedia diisitilahkan sebagai “Nobel Alternatif”.
Ira di usianya kini 31 tahun-berpidato di depan parlemen Swedia.
Lengkap dengan jilbabnya pula. Esoknya, fotonya pun muncul dibeberapa
surat kabar setempat. Juli, di tahun yang sama Ira juga memberi pidato
puncak pada sekitar 500-an manajer perusahaanya dari seluruh dunia di
San Fransisco. “Dari sepuluh ribu karyawan di seluruh dunia, kurang
dari sepuluh yang muslim. Itu pun hanya saya yang berjilab”, katanya.
Ia terpilih untuk mewakili sebagai Vendor Compliance Officer terbaik di
seluruh dunia.
Haruskan saya, sebagai pimpinan rumah tangga, membunuh seluruh
potensi itu dengan memaksanya untuk tinggal di rumah? sedangkan ia
terbukti mampu berbuat banyak untuk masyarakat, menyelamatkan banyak
generasi mendatang dengan mempromosikan ASI, memperjuangkan nasib
puluhan ribu buruh pabrik (termasuk memperjuangkan hak buruh-buruh
etnis Champa untuk memperoleh Mushalla di Kamboja), juga menjadi “PR
Islam” untuk lingkungannya, yakni bahwa seorang muslim, baik laki-laki
atau perempuan dapat menjadi seorang yang terbaik, intelektualitas
maupun profesionalitas.
Apakah dengan begitu kepemimpinan saya sebagai suami goyah?. Apakah
saya tak mampu menghidupi keluarga saya bila Ira menghentikan
kariernya? Insya Allah tidak. Saya tidak menyoal sama sekali ayat
populer “Arrijalu qowwamuna’ alannisa,” meskipun banyak tafsir yang
berkembang soal ayat itu.Saya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
‘arah dan ‘warna’ keluarga saya. Hanya barangkali pola kepemimpinan
saya sedikit berbeda dengan pola kepemimpinan kebanyakan suami.
Sampai sekarang pun, jika mau saya dapat menggunakan otoritas saya
sebagai pemimpin keluarga tanpa Ira dapat menolaknya. Tapi saya merasa
, cara kepemimpinan demikian tidaklah benar.
Di masa sekarang,
apalagi mendatang, gaya kepemimpinan ‘partnership’ lebih sesuai
dibandingkan dengan gaya kepemimpinan ‘otortier’ (maaf sebenarnya ini
bukan istilah yang tepat), dalam keluarga sekali pun. Dalam gaya
kepemimpinan ini, yang menjadi kunci bukan lagi dominasi sikap,
pemikiran ataupun tindakan suami. Baik itu disampaikan secara tegas,
maupun dengan sangat halus dan lembut. Dalam kepemimpinan ‘prtnership’
yang lebih diperlukan adalah diskusi, dialog untuk mendapatkan format
yang terbaik dalam keluarga. Dialog tersebut harus terus dikembangkan
karena setiap hari kita menghadapi situasi baru. Indikator sederhana
tingkat dialog tersebut adalah seberapa sering suami istri
mendiskusikan situasi, keadaan, pola, hingga posisi yang dikuasai
masing-masing dalam berhubungan intim.
Dengan pola kepemimpinan ini, pemimpin tidak menempatkan diri untuk
“menggurui” atau mendikte. Walaupun dilakukan secara halus. Pemimpin
perlu menempatkan diri sebagai moderator yang cerdas, yang mampu
mengeksplorasi seluruh gagasan dan pikiran anggota keluarga, lalu
membuat sintesa yang paling baik dan diterima semua pihak. Acapkali
suami ‘takut’ untuk berdiskusi. Banyak suami tidak siap bila sang istri
mengambil peran yang cukup besar di rumah tangga dan merasa “kehilangan
harga diri”. seolah tugas suami selalu mencari nafkah, sedangkan adalah
tugas istri adalah menangani seluruh tugas domestik atau pekerjaan
rumah tangga.padahal cukup banyak variasi yang dimungkinkan dalam pola
hubungan suami-istri. Semuanya tergantung dari karakter masing-masing
pihak.
Pola hubungan Muhammad-Khadijah sangat berbeda dengan pola hubungan
Muhammad-Aisyah. Karakter keluarga saya, kebetulan lebih dekat dengan
pola pertama dibanding kedua. Tanpa banyak diskusi, saya khawatir,
kebahagiaan keluarga yang diidamkan hanya akan dicapai secara semu.
Perempuan dan anak-anak akan cenderung menajdi ‘korban’. Acapkali istri
terpaksa menerima ‘kodrat-nya’, mengubur dalam-dalam potensinya untuk
dapat berperan langsung dalam masyarakat, sepenuhnya menjadi ‘mahluk
domestik’, sekedar menjalankan fungsi reproduksi (yang tidak mungkin
tak merasakan kenikmatannya sebagaimana yang dirasakan sang suami),
serta kehilangan identitas dirinya karena ia telah menjadi “ummu….atau
umminya…”
Saya bukan penganjur wanita untuk berkarier dan saya juga bukan
saya juga bukan penganjur wanita untuk dirumah saja…setiap orang punya
kecenderungan masing-masing. Biarkan kecenderungan itu tumbuh tanpa
dipatahkan . Tinggal bagaimana mengelolanya secar baik, sesuai dengan
keadaan masing-masing.
Khadijah adalah insvestor bisnis perdagangan antar bangsa pada
zamannya. Barangkali sekelas George Soros atau Rupert Murdoch sekarang.
Sedangkan Aisyah mewarnai rumah tangga dengan kemanjaannya. Muhammad
saw tidak memukul rata mereka untuk menjadi seragam: istri adalah
penunggu dan pekerja domestik bagi suami dan anak-anak.
Bagi suami dengan pola kepemimpinan ‘partnership’ istri di rumah
atau berkarier sama baik. asalkan pilihan itu sudah dipertimbangkan
secara cermatdan benar-benar menjadi pilihan hati sang istri. Pemaksaan
apakah untuk tinggal di rumah atau untuk bekerja, pada dasarnya
mengingkari prinsip islam agar setiap umatnya kritis, berhati tulus dan
berfikir merdeka hanya dengan mengilahkan- Nya. Sayang banyak suami
yang lebih banyak mengikuti naluri primitifnya male chauvinistic
ketimbang menengok teladan Muhammad terutama dalam berkeluarga denagn
ummul mukminin, Khadijah) meskipun sambil mengutip hadits.
Bisa saja pendapat saya ini keliru karena keterbatasan ilmu agama
saya. tapi saya berdoa, mudah-mudahan Allah memberi jalan yang baik
bagi keluarga saya. jalan baik itu , Insya Allah hanya akan diberikan
bila suami istri saling respek. Secara lahiriah , itu kami wujudkan
setiap habis sholat berjama’ah. Ira selalu mencium tangan saya dan saya
ganti mencium tangan Ira. Saya akan memijat kaki Ira, bila ia capek. ia
pun akan memijat kaki saya bila saya capek. bagi saya Ira bukan hanya
istri, ia juga sahabat
terbaik saya.
* Zaim Uchrowi
Pemred Tabloid Adil
Dimuat di Kolom Ayah Majalah Ummi, 1999
http://zaimuchrowi/. wordpress.com/ 2009/ 05/12/kepemimpinan- partnership- suami/
VS
Full Time Mother
Selasa, 02/03/2010 12:48 WIB | email | print | share
Oleh Ummu Zahrah
Dia
seorang wanita cerdas, terlahir di keluarga berada, lulusan sebuah
perguruan tinggi ternama di Bandung dan memiliki kemampuan di atas
perempuan biasa. Semangatnya tinggi untuk belajar, dan itu dia buktikan
ketika dia harus menemani sang suami menyelesaikan doktornya di Jerman.
Dalam waktu setahun, ia mampu menguasai bahasa Jerman, sehingga hampir
semua urusan bank, asuransi kesehatan, urusan dengan imigrasi ataupun
urusan sehari-hari yang memerlukan penguasaan bahasa Jerman dapat ia
selesaikan sendiri tanpa harus merepotkan sang suami.
Alhamdulillah dengan dukungan isterinya tersebut, sang suami mampu
menyelesaikan program doktornya tepat pada waktunya 3 tahun, walaupun
umumnya banyak kasus perpanjangan karena beratnya syarat kelulusan
doktor. Perannya sebagai seorang isteri yang mampu mensupport suami
tidaklah diragukan.
Dia, sebutlah namanya Tari adalah seorang isteri dan ibu yang
mandiri. Tetapi bukan hanya itu, yang membuatnya berbeda adalah dia
seorang full time mother dan dia bangga dengan hal itu. Dia mengabdikan
hidupnya di rumah sebagai manajer rumah tangga, merawat anak-anaknya
sendiri, mengerjakan urusan rumahnya sendiri, tanpa memanjakan diri
dengan bantuan seorang asisten rumah tangga/pembantu. Sepulang dari
Jerman pun, dia tetap melakukan hal yang sama di Bandung. Suatu hal
yang lumrah terkadang di luar negeri bila kita melakukan semuanya
sendiri karena fasilitas asisten RT sungguh merupakan barang mewah.
Tetapi di Indonesia, adalah hal yang umum para ibu-ibu yang bekerja
atau bahkan tidak bekerja di luar, tetap menggunakan fasilitas asisten
RT. Setiap pulang berkunjung dari rumahnya, saya bisa melihat betapa
Tari sangat bahagia berada dekat dengan anak-anaknya setiap detik, jam
dan hari. Dia lah madrasah anak-anaknya, tanpa memanggil guru les atau
sebagainya, Tari mampu mendidik anak-anaknya melebihi anak-anak normal
seusianya. Dengan pendidikan dini yang dia terapkan sejak awal, anaknya
tumbuh cerdas dan penuh tercurahkan kasih sayangnya. Ya, itulah Tari
adikku, seorang wanita cerdas berpotensi besar tetapi lebih memilih
mencurahkan potensinya untuk membangun surga di rumahnya, menjadi
madrasah untuk anak-anaknya.
***
Sepulang menginap dari rumah Tari, tantenya, anak-anak
saya biasanya langsung heboh memberikan laporan singkat ke ummi dan abi
mereka. ”Tante Tari bikin ini sendiri lho, trus kita bikin itu, trus
sebelum tidur kita diceritain cerita ini, cerita itu tetapi syaratnya
harus menyetor hapalan surat-surat al-Quran dan membaca Iqra dulu”.
Kemudian disambung lagi dengan kalimat, ”Shofi (umur 5 tahun) dah iqra
enam lho, Mi, bentar lagi al-Quran. Teteh (umur 6 tahun) kalah deh,
masih iqra 5.” Adiknya pun tidak mau kalah menambahkan, ”Tante Tari
hebat yah mi, pinter masak. Trus kita main ini, kita bikin kartu, kita
bikin itu bla, bla, bla” Saya hanya tersenyum simpul sambil melirik abi
mereka. Saya sudah dapat membayangkan seabrek aktivitas menyenangkan
yang mereka lakukan di rumah sepupunya. Mulai dari menggambar, mewarnai
sampai mengguntingnya menjadi kartu cantik, ataupun permainan-permainan
kreatif lain. Rumah Tari memang penuh dengan semua
fasilitas permainan dari arena panjat, perosotan dan sebagainyanya yang
membuatnya merasa nyaman memberikan kesempatan bagi anak-anaknya
bereksplorasi dan bermain sepuasnya sehingga belajar sambil bermain di
rumah menjadi tidak membosankan.
Tari memang guru yang cerdas dan punya seabrek ide kreatif. Sungguh
saya salut dengan keseriusannya dalam mendidik anak-anak. Dengan
menjadi ibu full time toh tidak meluruhkan seluruh ilmu yang ia timba
di universitas, bahkan dengan fasilitas internet dan laptop pribadinya,
Tari bisa selalu up to date dan terus menambah wawasan dirinya.
Walaupun banyak orang di sekelilingnya kerap menyayangkan keputusan
Tari untuk menjadi full time mother, mendesaknya untuk mengambil S2,
untuk bekerja di luar dan sebagainya, tetapi Tari tetap bangga dan
yakin dengan pilihannya.
***
Full time mother, suatu cita-cita yang pernah menjadi
impian saya dan sampai saat ini pun saya masih terus mengimpikannya.
Alhamdulillah saya sempat menikmati menjadi full time mother walau
hanya setahun selepas kelulusan master dan kelahiran anak kedua.
Dikelilingi anak-anak dan suami, memanage urusan rumah, beraktivitas
dengan anak-anak di setiap berputarnya waktu, bermain di taman,
refreshing ke jidoukan (taman bacaan anak-anak), merupakan saat-saat
yang paling membahagiakan.
Keharusan untuk meninggalkan baju kebesaran itu, sungguh pilihan
yang tidak mudah. Walau saya tahu, saya harus meniatkan jalan ini
sebagai jihad, tetapi harus saya akui waktu-waktu yang terlewatkan
dengan anak-anak, hari demi hari semakin bertambah. Hitunglah secara
matematis simpel saja, berapa jam seorang wanita seperti saya berada di
rumah? Pergi dari rumah jam 7, mulai jam 8 sampai jam 4 saya di kantor,
jam 5 saya baru sampai di rumah, baru bisa berinteraksi dengan mereka.
Jam delapan malam mereka sudah siap untuk tidur, setelah 'ritual'
membaca Iqra atau buku dan hapalan surat-surat pendek, yang terkadang
ritual itu mulai sering didiskon karena kepenatan dan keletihan saya.
Pagi bangun tidur hanya sekitar 1-2 jam saya menyiapkan mereka dari
bangun, mandi dan sarapan bersama sebelum si teteh pergi ke sekolah dan
adiknya di rumah.
Jadi interaksi seorang wanita yang bekerja seperti saya, sehari
hanya mampu menghabiskan waktu bersama anak-anaknya sekitar 4–5 jam
sehari. Belum dengan tambahan pengurangan apabila ada lembur, dinas
luar kota atau dinas ke luar negeri. So, anda bisa hitung sendiri
kira-kira berapa waktu anda yang hilang.
Suatu alasan klise yang mengatakan, kualitas lebih penting daripada
kuantitas. Sebuah excuse yang kerap dilontarkan oleh seorang ibu wanita
pekerja. Come on, Akuilah, kuantitas pun sama pentingnya, semakin
banyak kuantitas semakin erat hubungan seorang anak dengan orang
tuanya, kedekatan emosi, dan limpahan kasih sayang. Hampir bisa
dikatakan, kualitas berbanding lurus dengan kualitas. Terus terang,
saya lebih merasa bahagia dan bangga melihat anak tumbuh dan mampu
melakukan sesuatu (dia mampu berjalan, lulus toilet training-nya atau
bisa mengucapkan kata-kata pertamanya) dibandingkan prestasi pribadi
atau kebanggaan akan sebutan lady engineer yang melalang buana ke
negara-negara luar.
***
Di zaman rasulullah, banyak sekali atau bahkan hampir
semua adalah full time mother, mereka tetap dapat beraktivitas dan
berperan serta dalam ber-home industri, berdakwah atau menuntut ilmu.
Menjadi full time mother tidaklah hal yang mudah, saya yakin sekali
hanya wanita-wanita tangguh, mungkin seperti anda atau ibu anda yang
mampu melakukannya. Bila kebanyakan orang bercita-cita untuk membina
karirnya di luar, saya yakin masih ada segelintir wanita-wanita tangguh
dan cerdas yang bangga menjadi seorang full time mother. Alhamdulillah,
sekalipun saya melihat adanya kecenderungan banyak sekali wanita-wanita
yang berlomba-lomba mencari kerja dan membina karir, tetapi masih ada
wanita yang merasa bahwa saat ini, ketika anak-anak membutuhkan, tempat
mereka adalah di rumah menemani dan mendampingi anak-anak mereka.
Semoga masih banyak Tari Tari yang lain, yang mengingatkan kita semua
akan tugas utama kita.
My appreciation for every full time mother.
Memoir, March 07
Ummu Hanaya yang sedang bimbang mendekati saat2 terakhir cuti habis...
***
Kutipan kesimpulan:
"Bahwa apapun keputusan yang diambil, apabila seorang ibu tersebut
bahagia, ikhlas, dan mampu berjuang memberikan pendidikan dan
pengasuhan anak yang baik, maka kebahagiaan itu kelak bukan hanya milik
ia sendiri, melainkan juga menjadi milik suami dan anak-anaknya. "
wow.. like this!! ^^
BalasHapuskeren notemu yg ini yat...
BalasHapus@ilma : yah very like this story..
BalasHapushidup full time mother hahaha #nah loh
@anonim : yups copas ja jg ini,, btw ini siapa yah??
Kesimpulannya ok banget !
BalasHapus